Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Pages

Sabtu, 20 Oktober 2012

ulumul qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
            Tafsir diambil dari kata fassara- yufassiru- tafsira yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya, pengertian berdasarkan bahasa tidak akan terlepas dari kandungan makna Al-idhah ( menjelaskan ), Al-Bayan ( menerangkan ), Al-kasyf ( mengungkapkan ), Al-izhar ( menampakkan ) dan Al-ibanah ( menjelaskan )[1].
            Secara istilahan tafsir adalah menerangkan ( maksud ) lafaz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksudnya, baik dengan mengungkapkan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim tersebut[2].  Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil[3], tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan yang dikehendaki dengan nash atau isyarat atau tujuan. Menurut Az-Zarkasyi[4], tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
            Dalam pembahasan ini penulis akan sedikit memaparkan tentang kaidah dasar tafsir yaitu, Nakirah dan Ma’rifah, Dhamir, dan kaidah ism dan fi’il.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Nakiroh dan Ma’rifah
Ma’rifah kata yang biasanya menggunakan alif lam (        ) dan Nakirah adalah kata yang biasanya tidak menggunakan alif lam (         )[5] Dalam menggambarkan sesuatu, Al-Quran kadang-kadang menggunakan ism nakirah dan kadang-kadang menggunakan ism ma’rifah. Penggunaan salah satu di antara keduanya mempunyai makna dan maksud tertentu. Maka memahami kaidah-kaidah yang berkaitan dengan nakirah dan ma’rifah itu sangat penting, termasuk pengulangan kata benda (ism) yang mungkin sama-sama ma’rifah, nakirah, dan nakirah-ma’rifah.
o      Penggunaan Ism Nakirah[6]
Ada beberapa maksud dan kemungkinan makna ism nakirah yang digunakan dalam Al-Qur’an :
a.       Maksudnya satu orang, bukan dua dan seterusnya. (Az-Zummar :29 )
b.      Maksudnya suatu macam atau bentuk. ( Al-Baqoroh : 7 )
c.       Membesarkan atau suatu peristiwa yang amat besar. ( Al-Baqoroh : 279 )
d.      Menunjukkan banyak atau juga ada kemungkinan menunjukkan banyak sekaligus peristiwa yang sangat besar. ( Fathir : 4 )
e.       Menunjukkan kepada sedikit. ( At-Taubah : 72 )
o      Penggunaan Ism Ma’rifah[7]
Ada beberapa kemungkinan maksud Al-Quran menggunakan ism ma’rifah, sesuai dengan jenis ism ma’rifah yang digunakan, antar lain :
a.       Jika yang digunakan ism dhamir, maka maksudnya sebagai pengganti agar tidak terjadi pengulangan kata.
b.      Jika yang digunakan ism alam, maka ada beberapa kemungkinan makna, yaitu menghadirkan pemilik nama dalam ingatan atau jiwa pendengar atau pembaca, memuliakan yang punya nama. ( Al-Fath  29 )
c.       Jika menggunakan ism isyarah, ada beberapa makna, menunjukkan perbedaan, menunjukkan dekat atau jauh sesuai isyarah yang digunakan, memberi peringatan. ( Luqman : 11 )
d.      Jika menggunakan ism maushul, ada beberapa makna, tidak baik disebutkan langsung atau bermakna umum. (Al-Ankabut : 69 )
o      Beberapa Kaidah Pengulangan Kata[8]
Kaidah yang berkaitan dengan pengulangan  :
a.       Apabila keduanya ism nakirah, maka makna pertama berbeda dengan kata keduan, seperti dalam surat Ar-Rum ayat 54.
ª!$# Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB 7#÷è|Ê ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ 7#÷è|Ê Zo§qè% ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ ;o§qè% $Zÿ÷è|Ê Zpt7øŠx©ur 4 ß,è=øƒs $tB âä!$t±o ( uqèdur ÞOŠÎ=yèø9$# ㍃Ïs)ø9$#  
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kata daffin dan Quwwah yang pertama dan keduan tidak memiliki arti yang sama.
b.      Apabila kedua kata ism ma’rifah, maka kata pertama maupun kedua sama artinya, seperti dalam surat Al-fatihah ayat 6-7.
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Kaidah ini tidak berlaku untuk seluruh ayat quran. Karna ada beberapa ayat yang bertentangan seeperti, al-ihsan dan an-nafs, dalam surat Ar-Rahman ayat 60, Al-maidah ayat 45, karna maknanya bertentangan dengan realitasnya.
c.       Jika kata Nakirah-ma’rifah, maka sama artinya. Seperti dalam surat Al’Muzamil ayat 15-16.
!$¯RÎ) !$uZù=yör& óOä3ös9Î) Zwqßu #´Îg»x© ö/ä3øn=tæ !$uKx. !$uZù=yör& 4n<Î) šcöqtãöÏù Zwqßu ÇÊÎÈ   4Ó|Âyèsù ãböqtãöÏù tAqß§9$# çm»tRõs{r'sù #Z÷{r& WxÎ/ur ÇÊÏÈ  
 Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.
Kata rasulan (                ) dan arrasulu (                  ) memiliki arti yang sama yaitu Nabi Musa.
d.      Jika kata Ma’rifah-Nakirah, mungkin semakna dan mungkin tidak.seperti dalam surat Al-Anam ayat 21dan 93.
ô`tBur ÞOn=øßr& Ç`£JÏB 3uŽtIøù$# n?tã «!$# $¹/Éx. ÷rr& z>¤x. ÿ¾ÏmÏG»tƒ$t«Î/ 3 ¼çm¯RÎ) Ÿw ßxÎ=øÿムtbqßJÎ=»©à9$# ÇËÊÈ  
ô`tBur ãNn=øßr& Ç`£JÏB 3uŽtIøù$# n?tã «!$# $¹/Éx. ÷rr& tA$s% zÓÇrré& ¥n<Î) öNs9ur yyqムÏmøs9Î) ÖäóÓx« `tBur tA$s% ãAÌRé'y Ÿ@÷WÏB !$tB tAtRr& ª!$# 3 öqs9ur #ts? ÏŒÎ) šcqßJÎ=»©à9$# Îû ÏNºtyJxî ÏNöqpRùQ$# èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#þqäÜÅ$t/ óOÎgƒÏ÷ƒr& (#þqã_̍÷zr& ãNà6|¡àÿRr& ( tPöquø9$#
dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan. 93. dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu"
B.     Dhamir
Ism Dhamir adalah kata ganti, baik orang maupun bukan. meliputi kata ganti orang pertama seperti saya (     ) atau kami (       ), kata ganti orang kedua seperti kamu (       ) dan kata ganti orang ketiga seperti (       ). Dalam kaidah bahasa arab kata ganti tersebut disebut dengan dhamir mutakalim, dhamir mukhathab, dan dhamir gha’ib.
a.             Dhamir mutakalim ( kata ganti orang pertama ) meliputi,     ,     ,     ,       ,        .
b.             Dhamir mukhathab ( kata ganti orang kedua )  meliputi,      ,     ,          ,        ,        ,        ,         ,         ,         ,        ,        ,        ,        ,       .
c.             Dhamir gha’ib ( kata ganti orang ketiga ) meliputi,        ,        ,     ,       ,        ,         ,         ,        ,          ,        ,        ,        ,       ,        .
Al-Qur’an banyak menggunakan ism dhamir, sebagai kata ganti. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ism dhamir harus dipahami dengan baik dan jelas tempat kembalinya. Ada beberapa kaidah ism dhamir yang perlu dipahami sebelum menafsirkan suatu ayat, yaitu sebagai berikut :
a.             Ism dhamir harus dikembalikan kepada lafal yang terdapat sebelumnya. Jika dhamirnya mutakalim, maka harus jelas siapa yang berbicara, begitu juga mukhathab. ( Hud : 42 )
b.             Tempat kembali ism dhamir harus sesuai dengan dhamir itu sendiri. Contohnya jika dhamir itu mufrad,  lafal tempat kembali juga mesti mufrad. ( Al-Baqoroh : 178 )
c.             Lazimnya, dhamir itu kembali kepada ism yang terdekat dengannya. (Ar-Rahman : 22 )
d.            Apabila berhimpun kepentingan menjaga lafal dan makna, maka dhamir dimulai dengan lafal kemudian dilanjutkan dengan makna. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 8.
z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ 
di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,  pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Kata man yang terdapat sebelum yaqulu secara lafal merupakan mufrad dan maknanya jama’, maka pada kata yaqulu ia di mufrad sesuai dengan lafal. Akan tetapi, di akhir ayat ini ia di jama’, sehingga menggunakan dhamir hum bukan huwa.
Ada keseragaman dhamir mengenai tempat kembalinya ( marja’ ), agar tidak terjadi kekacauan dalam pemaknaan[9],  seperti dalam surat Al-Hud ayat 77.
Dhamir juga sebagai kata benda jamak yang berakal dan tidak berakal. Pada umunya dhamir pada kata benda jamak berakal kembalinya  jamak pula, seperti dalam surat Al-Baqoroh ayat 233.
C.    Kaidah Ism dan Fi’il
Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il. Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam Al-Qur,an yang diungkapkan dalam bentuk kalimat isim (nominal) dan kalimat  fi’il (verbal)[10]. Perlu diketahui bahwa dalam beberapa sumber isim  disebut  jumlah ismiyah dan  fi’il  disebut jumlah fi’liyah.
a.              Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti  tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts (temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang di ungkapkan dengan kalimat verbal, seperti dalam QS. Ali ‘Imran: 134
 الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
 (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
b.             Di sini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan, digunakan kalimat nominal. Seperti dalam  QS. Al Hujurat: 15
إِنَّمَا الْمُؤْمنونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada[11].
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan isim ialah keadan sesuatu yang tetap dan berlangsung. Sedangkan yang dimaksud fi’il ialah timbulnya suatu yang sebelumnya tidak ada dan didalamnya terdapat suatu pekerjaan atau perbuatan.
o    Tujuan isim dan fi’il
Semua kata yang disebutkan dalm al-Qur’an memiliki makna dan tujuan masing-masing (kecuali fawatihus suwar yang maknanya tidak diketahui oleh manusia), begitu pula pengunaan kata isim dan fi’il memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan penggunaan isim dan fi’il dalam al-Qur’an[12]:
1.             Pengunaan kata isim betujuan untuk menunjukan sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah, Contoh QS. Al Kahfi: 18
2.      Penggunaan kata isim untuk menunjukan janji surga atau balasan yang amat tinggi,Contoh QS. Al Hijr: 45
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).
3.      Pengunaan kata fi’il untuk menunjukan pekerjaan yang berulang-ulang dan berkesinambungan ( fi’il mudhari’ ), Contoh QS Faatir: 3
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
4.      Pengunaan fi’il  untuk menunjukan pristiwa yang tejadi dimasa lampau ( fi’il madhi) Contoh QS. An Nisa: 162.
5.      Pengunaan fi’il untuk memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan peristiwa tersebut pasti akan datang, cepat atau lambat dan tak dapat di tolak oleh siapa pun. Contoh QS. Yasin: 51
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ
Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
6.      Pengunaan fi’il untuk menunjukan sifat-sifat yang harus di perbaharui secara terus menerus dan berkesinambungan Contoh QS. An Nisa: 162.
7.      Pengunaan fi’il untuk menunjukan keberadaan tindakan yang mungin ada dan mungkin tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal[13], Contoh QS. Al Baqarah :274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
8.      Penggunaan fi’il (mudhari’) untuk menggambarkan salah satu dari dua hal yaitu keindahan atau kejelekan peristiwa itu. Contoh QS. Ali Imron:21
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ
 بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih.
o    Contoh penerapan kaidah isim dan fi’il
Berikut ini beberapa contoh firman Allah yang menggunakan isim[14] :
1.             QS. Al-kahfi: 18
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ
 عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
 Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing Ashhabul Kahfi ketika mereka tertidur dalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim, tidak dengan fi’il. Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu
2.             QS. Al-hujurat: 15
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.
Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan.  Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan bagi orang yang keberadaannya senantiasa diliputi.
Sedangkan beberapa contoh redaksi ayat yang mneggunakan fi’il ialah sebagai berikut[15]:
1.             QS. Al Baqarah: 274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Kata yunfiqun pada ayat di atas menunjukkan keberadaannya sebagai suatu tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal.
2.             QS. Fatir: 3
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
 Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
Isim khaliq dalam ayat tersebut menunjukkan sifat yang melekat secara permanen pada pelakunya. Sedangkan yarzuqukum menunjukkan pemberian rizki itu secara bertahap.













BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Ma’rifah kata yang biasanya menggunakan alif lam (        ) dan Nakirah adalah kata yang biasanya tidak menggunakan alif lam (         ) Dalam menggambarkan sesuatu, Al-Quran kadang-kadang menggunakan ism nakirah dan kadang-kadang menggunakan ism ma’rifah. Penggunaan salah satu di antara keduanya mempunyai makna dan maksud tertentu. Maka memahami kaidah-kaidah yang berkaitan dengan nakirah dan ma’rifah itu sangat penting, termasuk pengulangan kata benda (ism) yang mungkin sama-sama ma’rifah, nakirah, dan nakirah-ma’rifah.
Ism Dhamir adalah kata ganti, baik orang maupun bukan. meliputi kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua dan kata ganti orang ketiga. Dalam kaidah bahasa arab kata ganti tersebut disebut dengan dhamir mutakalim, dhamir mukhathab, dan dhamir gha’ib. Dan yang dimaksud dengan isim ialah keadan sesuatu yang tetap dan berlangsung. Sedangkan yang dimaksud fi’il ialah timbulnya suatu yang sebelumnya tidak ada dan didalamnya terdapat suatu pekerjaan atau perbuatan.
Maka, dalam memahami Al-Qur’an kita harus benar-benar memahami tentang kaidah-kaidah tafsir agar tidak salah untuk menafsirkan suatu ayat.


           



DAFTAR PUSTAKA
1.      Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Quran, ( Bandung : Pustaka Setia,2008).
2.      Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, ( Pekanbaru : Amzah, 2009).
3.      Prof. Dr. Nashruddin Baidan,  Metode Penafsiran Al-Qur’an, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 ).
4.      Dr. Kaidar, M. Yusuf M.Ag, Studi Al-Qur’an,  ( Jakarta: Amzah, 2009 ).
5.      Dr. Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara Ilmu Dalam Al-Quran, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999 ).
6.      Chirzin MuhammadAl-Qur’an dan Ulumul Qur’an, ( yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 ).
7.      Khaliil Manan al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, ter. Mudzakir AS ( Bogor: PT Litera Antar Nusa, 2011 ).
8.      Usman, Ilmu tafsir, ( Yogyakarta: TERAS, 2009 ).
9.      Baidan NasirudinWawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
























[1] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Quran, ( Bandung : Pustaka Setia, 2008 ), hal 209
[2]  Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, ( Pekanbaru : Amzah, 2009 ), hal 98
[3] Dr Rosita Anwar, M.Ag, Op Cit, hal 209
[4] Ibid, hal 210
[5] Prof.Dr. Nashruddin Baidan,  Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 ), hal 88
[6] Dr. Kaidar M. Yusuf M.Ag, Studi Al-Qur’an,  ( Jakarta: Amzah, 2009 ), hal 149
[7] Ibid, hal 150
[8] Ibid
[9] Dr. Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara Ilmu Dalam Al-Quran, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999 ), hal 96
[10] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 ), hal. 157

[11] Mana Khaliil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, ter. Mudzakir AS( Bogor: PT Litera Antar Nusa, 2011 ), hal.291-292.
[12] Nasirudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 322-326

[13] Usman,  Ilmu tafsir,  ( Yogyakarta: TERAS, 2009 ),  hal. 256.
[14] Muhammad Chirzin, Op Cit, hal.158-163

[15] Ibid

0 komentar:

Posting Komentar