PEMBAHASAN
Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi
dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi
pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya
kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya
telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran
lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan
dimensi spiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui
metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin
menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika
kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisasikan dalam
bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat
tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli
(tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .
A.
TAKHALLI
Takhalli atau penarikan diri. Sang
hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari
segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan
segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala
hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang
dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau
memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang
merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu
jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan
batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi,
karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu
tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin
itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum
bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir
Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan
maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin
dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan
tersingkaplah tabir (hijab), yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan
sebagai berikut :
a.
Menghayati
segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat
secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b.
Riyadhoh
(latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan
diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan
hawa nafsunya tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah
latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (shahwat) yang
negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c.
Mencari
waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap
kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d.
Mukhasabah
(koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang
jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.
Jika dihubungkan pemikiran dan
metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode
tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang
harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu
melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli
(mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh
kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang
menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah,
maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan
dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna
Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing
orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi
simtomatis, kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri, ketiga, pola
wawasan yang berorientasi pengembangan potensi, keempat, pola wawasan yang
berorientasi agama/kerohanian, Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam
kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar,
tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa
atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu,
ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang
sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan
diri dari sifat-sifat kemakasiatan , sifat itu diantaranya :
1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)Hubb
al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada
dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan
sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang
tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan
celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan
batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia
selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
4. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
5. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
6. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
7. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.
B.
TAHALLI
Tahalli
berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta
pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan
diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam tau ketaan
lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat
formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan
ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi
atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan
pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana
kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses
pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahlli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap
mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap
berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat
yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahw
jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi,
ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi
dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli
adalah berbias dengan sifat-sifat Allah. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna
dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat penghambaan.
Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak
menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli)
dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada
dalam pengatahuan Allah.
Tahalli
juga dapat diartiakan sebagai semedi atau mediatasi secara sistematik dan
metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan
kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah
Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah
melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka
dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk mendekatkan diri
pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah,
ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.
1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan.
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan.
4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15.
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15.
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.
C.
TAJALLI
Setelah
seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang
hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau
memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain
Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli
adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat
penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme,
proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator
disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan
dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli
berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri
Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir.
Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati.
Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan
mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi
atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli
merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat
disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang
yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai
dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara
guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli
juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang
sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi
tajalli menjadi empat tingkatan .
a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada
perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan
ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya
seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan
lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat
kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba
atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa
hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki
adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya
karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah
terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa`
hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah
yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah
(terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya
sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum
zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada
didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan
Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa
menggapainya niscaya akan merasakan tajalli. Kalau sudah bisa merasakan tajalli
akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli
itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai
tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe.
Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam
tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan
menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan
karena bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.
KESIMPULAN
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri
dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini
akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala
bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang
menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bias
dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah
segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat
batin adalah segala sifta tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal
ini adalah hati, sehingga mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah
tabir (hijab).
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik
kewajiban luar maupun kewajiban dalam tau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan
lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa,
zakat, haji, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyIngkapan. Suatu
term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan
dari yang tunggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah,
dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam
gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu
meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib
dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang
merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
0 komentar:
Posting Komentar